Kamis, 07 November 2013

Kala Senja Enggan Menutup Hari

Pada sore yang hampa, aku berjalan-jalan menyusuri jalan Malioboro, Yogyakarta. Dengan segala kekosongan dunia, tangan kosong, hati kosong dan langkah yang kosong, aku melihat-lihat semua yang ada. Jalanan itu cukup penuh dan ramai rupanya, tidak seperti diri ini. Aku terus berjalan, terkadang sambil bergumam sendiri, tak ada suatu hal apapun yang dapat menghentikan langkahku.. kecuali sebuah peristiwa, mampu menghentikan pandanganku. Aku sempat terpaku, pandanganku tetap pada satu arah.. hati ini kemudian berteriak.. "ah.. Ya Tuhan..." gumamku..

Dengan arah pandangan yang sama, kakiku berbelok arah... menuju sebuah sudut jalan yang di lupakan orang. Sepanjang jalan itu ramai orang berlalu-lalang tapi tak satupun orang menghampiri sudut ini, bahkan ini terlihat sangat hampa, dan lebih kosong dari suasana hatiku. seorang ibu tua, terlihat sedang mengamati dunia. Dunia tempat ia berada tetapi juga dunia yang tak melihatnya. Dia terlihat asing di dunianya sendiri.

Singkat cerita, ibu itu adalah seorang penjual kacang goreng pincukan. aku hampir tidak percaya, di tengah jaman yang seperti ini, masih ada penjual kacang goreng pincukan. Kacang goreng pincukan, bukanlah makanan asing. Jajanan ini sempat menjadi gandrungan rakyat di era penjajahan, sebelum adanya TV, sebelum ada bioskop, jamannya orang pacaran belum nongkrong di kafe dsb. Di jamannya, kacang goreng pincukan adalah idola setiap orang. Selalu menjadi komoditas terlartis ketika ada pesta rakyat, Layar Tancep, Pagelaran wayang dan tari, pertunjukan lenong, dsb. Dulu setiap kencan, orang-orang pacaran sangat bangga kala tangan kanannya menggandeng tangan kiri pacarnya dan tangan kirinya membawa sepincuk kacang goreng. Yaaa itulah dulu, tinggalah sebuah istilah "itu dulu" dan kini, kacang goreng pincukan sudah ditinggalkan oleh jaman kepopularitasnya.

Aku datang lalu jongkok di depan sang ibu, aku pura-pura bertanya apa saja yang dijualnya. dengan beberapa basa-basi, aku mempertanyakan kenapa si Ibu masih mau-mau saja menjual kacang goreng pincukan. Sejatinya, menjual kacang goreng pincukan sudah sangat tidak profit karena komoditas ini sudah tidak populer dan kalah saing dengan makanan/jajanan yang dikemas secara moderen. Sudah banyak sekali minimarket yang menjual berbagai macam snack, dengan kemasan yang bagus, menarik dan harga yang relatif murah. Dengan pertanyaan itu, sang Ibu hanya menjawab, "apalagi yang bisa saya lakukan mbak? wong yang saya punya ya cuma ini, buat cari makan. Anak-anak saya sudah gak tau dimana rimbanya"

Jadi si Ibu adalah seorang yang sebatang kara. Sewaktu mudanya dia adalah seorang pengusaha kain tenun di Kabupaten Bantul Yogyakarta. Karena terlibat masalah hutang, usahanya harus gulung tikar. Suaminya digadang-gadang sebagai anggota PKI dan sampai saat ini tidak diketahui dimana rimbanya. Bertahun-tahun ia menghidupi anak-anaknya sendirian, hingga anak-anaknya mampu menghidupi dirinya sendiri. Rupanya, setelah anak-naknya merantau ke luar daerah mereka tak pernah pulang ke kampung halamannya walau sekedar untuk mengunjungi ibunya. Akhirnya, kini ia tak memiliki pilihan untuk bertahan hidup dengan menjual kacang goreng pincukan. Walau barang jualannya jarang dilirik orang, ia tetap menaruh harapannya. Dalam usianya yang senja, semangatnya untuk bertahan hidup tak pernah padam. menurutnya, ia sudah ditakdirkan memiliki jalan hidup yang keras dan tidak ada alasan baginya untuk menyerah dan berpangku tangan. Bahkan ia juga berkata "Saya itu sayang mbak, sama ank muda yang pada ngemis. wong saya aja yang sudah nenek-nenek, yang udah gak bisa kerja lain usaha kaya gini. namanya juga usaha yo mbak. yang penting gak minta-minta, kulo (read: saya/b.jawa) ditinggal suami, dilalekne (read: dilupakan) anak."

Sampai tulisan ini berhasil aku posting,  aku masih belum percaya cerita yang ku dengar ini rekayasa atau bukan. Kaya film banget memang, tapi itulah yang aku dengar dari obrolan bersama penjual kacang goreng pincukan beberapa waktu lalu, tepatnya beberapa bulan lalu. Belum lama ini, aku berjalan-jalan lagi di Malioboro (tidak dengan hati yang kosong) dan mengingatkanku akan cerita Ibu Kacang. Ingin rasanya aku datang dan ngobrol lebih banyak lagi, tapi kini tak kutemukan lagi ia di sudut gang itu... semoga si Ibu baik-baik saja.. hanya saja, satu yang ku ingat dari binar matanya... Ia bagaikan seorang senja dengan semangat yang selalu pagi, ingin terus menjalani hari dan ia tak ingin segera menutupnya...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar