Kamis, 21 November 2013

ISI HATI AYAH (Kala Aku Dicintai...)


Malam itu, ku lihat ayah masih terjaga di meja kerjanya. Tatapannya kosong, jauh menerawang. Ekspresinya sendu, seperti ia sedang mengkhawatirkan sesuatu. Aku datang sambil membawakan secangkir teh hangat dan duduk disampingnya.

“Apa yang sedang kau pikirkan ayah?”  kataku.  Ia hanya tersenyum sembari melepas kacamatanya. Lalu berkata,
“Kau sudah tumbuh semakin cantik, persis seperti bayanganku ketika aku mengumandangkan azan ditelingamu. Serasa baru kemarin, semua berlalu begitu cepat.”

Aku terdiam, aku melihat sorot matanya yang dalam, tetapi tidak berbinar. Tatapannya seperti orang sedang khawatir. Sambil membelai rambutku, ia melanjutkan kalimatnya:

“Apakah menurutmu, aku sosok ayah yang tak peduli?”
“Untuk beberapa hal, iya” jawabku. Ayah tersenyum dan menyeruput teh hangatnya.
“Aku memang selalu begitu, tapi aku tak pernah berhenti menguping kala kau bercerita pada ibumu tentang segala hal. Aku tahu kau tak akan bisa bercerita seperti itu denganku, mungkin karena aku lelaki dan kau seorang gadis. Oleh karenanya, agar aku tahu ceritamu aku harus menguping.”

Lalu ia tertawa terbahak-bahak, dan aku memandangnya serius. Aku tahu, tawanya itu sangat dibuat-buat. Aku terus menatapnya, dan tiba-tiba ekspresinya menjadi sejuta kali lebih serius. Ia tertegun, lalu berkata:

“Anaku, 19 tahun sudah aku menyaksikanmu tumbuh. Mungkin ini saatnya kau harus menemukan jati dirimu, tidak lagi mencari. Kesabaran itu, ujiannya datang tiba-tiba dan kau harus sigap. Termasuk masalah perasaan. Kini kau sedang jatuh cinta bukan?”

Sial, bagaimana mungkin Ayah tahu? Matilah aku, ketahuan aku sudah punya pacar! Arghhhhh...

“Nak, Ayah pernah berumur 19 tahun. Sebagai lelaki normal, melihat gadis sepertimu tentu Ayah akan jatuh cinta! Siapapun lelaki itu, sampaikan ini padanya:
·         Aku tak pernah melarang anaku bergaul dengan siapa saja, termasuk denganmu. Bagiku, kebahagiaannya  adalah segala-galanya. Kau ku ijinkan menyukainya, mendekatinya, dan memacarinya. Bahkan  jika kau berkhayal ingin memperistrinya, terserah! Jika aku masih seumuranmu tentunya aku juga begitu, kita lelaki bung!! Hahahaha... tapi satu hal yang harus kau ingat, aku adalah orang pertama yang akan membunuhmu jika kau melukainya! Kelak kau akan memahami rasanya sebagai AYAH. Yang ku pinta darimu, jaga kehormatan putriku jika kau menyayanginya. Hargai ia sebagai perempuan, selayaknya kau menghormati ibumu. Suatu hari nanti  jika takdir bersama kita, kau akan duduk satu meja denganku dan menyeruput kopi bersama. Aku selalu butuh partner, tapi saat ini aku tak akan berhenti mengawasimu!

Aaaaaaahhhh... gila..!!! pernahkah kau mendengar malaikat bicara? Aku pernah, baru saja...! dialah Ayah yang tak henti ingin melindungi anak gadisnya, walau suatu saat nanti pasti ia akan ditinggalkan. Tapi Ayah tak akan bodoh memilih partnernya, karena kepadanya kelak ia akan menitipkan anak gadisnya.

Malam itu, menjadi malam yang sangat panjang bagi kami. Pertama kalinya, aku duduk semeja dan bercerita segala hal dengannya.. luar biasa, aku ngobrol dengan malaikat..!



Minggu, 17 November 2013

Puisi Cinta 66 Kata


"Jika hari ini kau memberiku cinta dan rasa sayang, Tuhan

Kirimkan aku seseorang yang layak mendapatkannya...

Jika hari ini kau memberiku rindu, Tuhan
Sandingkan aku, seseorang yang juga menyimpan rindu untuku..."


Rabu, 13 November 2013

Surat Cinta Untuk Matahari


Hari lalu pernah memberitahuku, "Sungguh, jangan lagi kau usik aku. Aku hanyalah sebagian masa lalumu yang telah kau lewati bukan? maka urusanmu adalah hari ini dimana kau berkisah dan hari esok dimana kau bertanggungjawab menulisnya"

Mendengarnya aku hanya sedikit bergumam, "Bagaimana mungkin, aku meninggalkan hari laluku..."

Kemudian Ia berkata kembali, "Sungguh, kau tidak pernah meninggalkan aku. tapi yang sepantasnya adalah kau harus menatap hari depanmu. jika kau terus mengusiku, maka demi matahari dan bulan kau adalah orang yang rugi. Jadikanlah aku sebagai pelajaran, jadikan aku sebagai kenangan, jadikan aku sebagai pengalaman yang memacu langkahmu menuju hari depanmu, tapi jangan jadikan aku kiblat..."


Kamis, 07 November 2013

Kala Senja Enggan Menutup Hari

Pada sore yang hampa, aku berjalan-jalan menyusuri jalan Malioboro, Yogyakarta. Dengan segala kekosongan dunia, tangan kosong, hati kosong dan langkah yang kosong, aku melihat-lihat semua yang ada. Jalanan itu cukup penuh dan ramai rupanya, tidak seperti diri ini. Aku terus berjalan, terkadang sambil bergumam sendiri, tak ada suatu hal apapun yang dapat menghentikan langkahku.. kecuali sebuah peristiwa, mampu menghentikan pandanganku. Aku sempat terpaku, pandanganku tetap pada satu arah.. hati ini kemudian berteriak.. "ah.. Ya Tuhan..." gumamku..

Dengan arah pandangan yang sama, kakiku berbelok arah... menuju sebuah sudut jalan yang di lupakan orang. Sepanjang jalan itu ramai orang berlalu-lalang tapi tak satupun orang menghampiri sudut ini, bahkan ini terlihat sangat hampa, dan lebih kosong dari suasana hatiku. seorang ibu tua, terlihat sedang mengamati dunia. Dunia tempat ia berada tetapi juga dunia yang tak melihatnya. Dia terlihat asing di dunianya sendiri.

Singkat cerita, ibu itu adalah seorang penjual kacang goreng pincukan. aku hampir tidak percaya, di tengah jaman yang seperti ini, masih ada penjual kacang goreng pincukan. Kacang goreng pincukan, bukanlah makanan asing. Jajanan ini sempat menjadi gandrungan rakyat di era penjajahan, sebelum adanya TV, sebelum ada bioskop, jamannya orang pacaran belum nongkrong di kafe dsb. Di jamannya, kacang goreng pincukan adalah idola setiap orang. Selalu menjadi komoditas terlartis ketika ada pesta rakyat, Layar Tancep, Pagelaran wayang dan tari, pertunjukan lenong, dsb. Dulu setiap kencan, orang-orang pacaran sangat bangga kala tangan kanannya menggandeng tangan kiri pacarnya dan tangan kirinya membawa sepincuk kacang goreng. Yaaa itulah dulu, tinggalah sebuah istilah "itu dulu" dan kini, kacang goreng pincukan sudah ditinggalkan oleh jaman kepopularitasnya.

Aku datang lalu jongkok di depan sang ibu, aku pura-pura bertanya apa saja yang dijualnya. dengan beberapa basa-basi, aku mempertanyakan kenapa si Ibu masih mau-mau saja menjual kacang goreng pincukan. Sejatinya, menjual kacang goreng pincukan sudah sangat tidak profit karena komoditas ini sudah tidak populer dan kalah saing dengan makanan/jajanan yang dikemas secara moderen. Sudah banyak sekali minimarket yang menjual berbagai macam snack, dengan kemasan yang bagus, menarik dan harga yang relatif murah. Dengan pertanyaan itu, sang Ibu hanya menjawab, "apalagi yang bisa saya lakukan mbak? wong yang saya punya ya cuma ini, buat cari makan. Anak-anak saya sudah gak tau dimana rimbanya"

Jadi si Ibu adalah seorang yang sebatang kara. Sewaktu mudanya dia adalah seorang pengusaha kain tenun di Kabupaten Bantul Yogyakarta. Karena terlibat masalah hutang, usahanya harus gulung tikar. Suaminya digadang-gadang sebagai anggota PKI dan sampai saat ini tidak diketahui dimana rimbanya. Bertahun-tahun ia menghidupi anak-anaknya sendirian, hingga anak-anaknya mampu menghidupi dirinya sendiri. Rupanya, setelah anak-naknya merantau ke luar daerah mereka tak pernah pulang ke kampung halamannya walau sekedar untuk mengunjungi ibunya. Akhirnya, kini ia tak memiliki pilihan untuk bertahan hidup dengan menjual kacang goreng pincukan. Walau barang jualannya jarang dilirik orang, ia tetap menaruh harapannya. Dalam usianya yang senja, semangatnya untuk bertahan hidup tak pernah padam. menurutnya, ia sudah ditakdirkan memiliki jalan hidup yang keras dan tidak ada alasan baginya untuk menyerah dan berpangku tangan. Bahkan ia juga berkata "Saya itu sayang mbak, sama ank muda yang pada ngemis. wong saya aja yang sudah nenek-nenek, yang udah gak bisa kerja lain usaha kaya gini. namanya juga usaha yo mbak. yang penting gak minta-minta, kulo (read: saya/b.jawa) ditinggal suami, dilalekne (read: dilupakan) anak."

Sampai tulisan ini berhasil aku posting,  aku masih belum percaya cerita yang ku dengar ini rekayasa atau bukan. Kaya film banget memang, tapi itulah yang aku dengar dari obrolan bersama penjual kacang goreng pincukan beberapa waktu lalu, tepatnya beberapa bulan lalu. Belum lama ini, aku berjalan-jalan lagi di Malioboro (tidak dengan hati yang kosong) dan mengingatkanku akan cerita Ibu Kacang. Ingin rasanya aku datang dan ngobrol lebih banyak lagi, tapi kini tak kutemukan lagi ia di sudut gang itu... semoga si Ibu baik-baik saja.. hanya saja, satu yang ku ingat dari binar matanya... Ia bagaikan seorang senja dengan semangat yang selalu pagi, ingin terus menjalani hari dan ia tak ingin segera menutupnya...